A. Klasifikasi Hadist Berdasarkan Kuantitasnya
1. Hadist Mutawattir
Secara lughowi istilah mutawattir berasal dari isim fail musytaq dari al-tawatur yang berarti tatabu’( dating beturut-turut dan beriringan satu dengan lainnya). Seperti dalam Q.S. Al-mu’minun(23):44. Sedangkan secar istilaha adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak periwayat dalam setiap tngkatan satu dengan yang lainnya dan masing-masing periwayat tersebut semuanya adil yang tidak memungkinkan mereka itu semuanya sepakat berdusta atau bohong semuanya bersandar pada panca indera. 1
Syarat-syarat hadist Mutawattir.
A. Bilangan atau jumlah periwayatnya banyak. Dalam hal iniulama berselisih tentang jumlahnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa paling sedikit adalah 4 orang periwayat berdasarkan pemahaman atas Q.S. al-nur (22):13. Sebagian di antara ulama ada yang berpendapat minimal 5 periwayat berdasarkan Q.S. al-nur (22):39. Ada yang juga yang berpendapat minimal yaitu berjumlah 10 periwayat Karena dengan alasan jumlah kurang dari sepuluh merupakan bilangan satuan. Di samping beberapa pendapat tersebut ada juga yang menyatakan bahwa minimalnya jumlah periwayat adalah sebanyak dua belas periwayat. Mengenai jumlah minimal dari periwayat hadis mutawattir merupakan sebuah ikhtilaf dari dari ulama.
B. Semuanya bersandar pada panca indera. Syarat ini menjadikan hadist mutawattir mencapai derajat yang tinggi Karena transmisinya dilakukan oleh metode al-asma’. Dalam pandangan ulama cara penyampaian hadist tersebut merupakan metode yang terbaik dalam periwayatan hadist atau kegiatan tahamul wa al-ada’.2
Adapun macam-macam hadist Mutawattir yaitu :
a. Mutawattir Lafdzi. Hadist yang diriwayatkan secara banyak dari sisi lafalnya satu dengan yang lain sama seperti hadist nabi Muhammad Saw :من كذب على متعمدا . hadist tersebut menurut al-Bazzar diriwayatkan sbanyak 40 sahabat, sedangkan menurut al-‘Asqalani menyatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.3
b. Mutawattir ma’nawi. Hadis yang diriwayatkan secara banyak periwayat dipandang dari sisi lafalnya satu dengan yang lain berbeda tetapi masih dalam konteks yang sama (satu makna). Dengan demikian tipe hadis ini tidak ada syarat kococokan atas kalimat yang diriwayatkan masing-masing perawi.
Di samping kedua jenis Mutawattir di atas , menurut M. Syuhudi Ismail menambahkan dengan satu jenis hadis mutawattir yaitu mutawattir ‘amali.4
2. Hadist Ahad
Hadist yang tidak mencapai derajat Mutawattir biasanya disebut dengan hadist Ahad. Hadist ahad sendiri secara Bahasa berasal dari kata Wahid artinya satu. Sedangkan secara istilah sering diartikan dengan hadist yang jumlah periwayatnya terbatas atau tidak banyak sebagaimana yang terjadi pada hadist mutawattir.5 Berikut ini pembagian hadist ahad. Hadist ahad di bagi menjadi tiga.
a. Masyhur
Secara etimologis berarti tersebar atau tersiar(muntasyir). Menurut istilah Ibn Hajar al-‘Asqalani adalah hadist yang diriwayatkan lebih dari dua orang tetapi belum mencapai derajat mutawattir. Sedangan menurut Imam Ahmad, hadist mashur yaitu hadist yang populer dikalangan tabi’in. hadis yang populer setelah dua generasi setelah sahabattersebut tidak disebut dengan hadist masyhur6. Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa yang namanya hadis Masyhur adalah hadist yang memiliki sanad terbatas dan lebih dari dua, namun derajatnya tidak sampai pada Mutawattir. Selain itu Hadis masyhur ini dapat dikenali dari beberapa sisi, yaitu:
1. Hadis yang masyhur dikalangan ulama hadis ahli hadis, seperti hadis berikut :
قنت شهرا بعد الركوع يدعوا على رعل وذكوان
2. Hadis yang masyhur dikalangan ulamahadis dan ulama lainnya, seperti hadist berikut :
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من هجر ما نهاى الله عنه
3. Hadis yang masyhur dikalangan bukan ulama hadis, seperti populer dikalangan ulama fuqaha (المسلمون على شروطهم) atau hadist yang populer dikalangan ulama sufi (من عرف نفسه فقد عرف ربه)
4. Hadis yang populer dikalangan masyarakat awam atau muballigh.
Contoh :
اعمل لدنياك كأنك تعيش ابدا واعمل لاخرتك كانك تموت غدا
b. Aziz
Secara Bahasa berasala dari kata ‘Aziz (العزيز) merupakan shifah musyabbahah dari ‘azza-ya’izzu yang artinya sedikit dan jarang. Dikatakan demikian karena hadits ‘aziz memang sangat sedikit dan jarang. Bisa juga berasal dari ‘azza-ya’azzu yang artinya kuat. Hal ini karena hadits ‘aziz dianggap kuat, karena ia memiliki jalan periwayatan lain. Sedangkan secara Istilah:
أن لا يقل رواته عن اثنين في جميع طبقات السند
Artinya: “Hadits yang jumlah periwayatnya minimal dua orang di setiap tingkatan sanad.”
لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده، وولده، والناس أجمعين
Artinya: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian, hingga aku lebih dicintainya dari orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia.”
Takhrij Hadits:
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari [15] dan Muslim [44] dari Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari [14] dengan redaksi agak berbeda dari Abu Hurairah. Dari Anas hadits ini diriwayatkan oleh Qatadah dan ‘Abdul ‘Aziz ibn Shuhaib. Dari Qatadah hadits ini diriwayatkan oleh Syu’bah dan Sa’id. Dari ‘Abdul ‘Aziz hadits ini diriwayatkan oleh Ismail ibn ‘Ulayyah dan ‘Abdul Warits. Dan dari masing-masing jalur ini diriwayatkan oleh sekelompok ulama.
c. Garib
Secara etimologis kata Garib merupakan sifat musyabbib yang bermakna sendirian atau jauh dari keluarganya atau jauh dari tanah air atau sulit difahami. Secara istilah hadis ini berarti hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat saja dengan tidak dipersoalkan dalam tabaqat mana sajanya. Oleh Karena itu, ada ulama yang menyebut hadis ini dengan istilah fard7.
Pembagian hadist garib.
Dilihat dari posisi menyendirinya, hadits gharib dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Gharib mutlaq atau fard mutlaq
Yaitu hadits yang rawi menyendirinya terletak di asal sanad, yaitu dari kalangan shahabat.
Contohnya:
إنما الأعمال بالنيات…
Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya…”
Takhrij Hadits: Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari [1] dan Muslim [1907]. ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menyendiri dalam periwayatan hadits ini.
2. Gharib nisbi atau fard nisbi
Yaitu hadits yang rawi menyendirinya terletak di tengah-tengah sanad, sedangkan di awal sanadnya terdapat lebih dari satu orang rawi.
Contohnya:
Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari az-Zuhri, dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Makkah dan di atas kepalanya ada mighfar (sejenis penutup kepala). Malik menyendiri meriwayatkan hadits ini dari az-Zuhri.
Hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari [4286, 5808] dan Muslim [1357].
Macam-Macam Gharib Nisbi Ditinjau dari Menyendirinya Suatu Hal Tertentu:
1. Menyendirinya seorang yang tsiqah dalam periwayatan hadits. Misalnya dikatakan: “Tidak ada seorang tsiqah pun yang meriwayatkannya, kecuali fulan”.
2. Menyendirinya seorang rawi tertentu dari rawi tertentu. Misalnya dikatakan: “Fulan A menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini dari Fulan B”. Walaupun ada jalur lain yang juga meriwayatkan hadits ini.
3. Menyendirinya penduduk negeri tertentu dalam periwayatan hadits. Misalnya dikatakan: “Penduduk Makkah menyendiri dalam meriwayatkannya”.
4. Menyendirinya penduduk negeri tertentu dari penduduk negeri tertentu lainnya. Misalnya dikatakan: “Penduduk Bashrah menyendiri meriwayatkan hadits ini dari penduduk Madinah”.
Macam-Macam Gharib Nisbi Ditinjau dari Menyendirinya Sanad atau Matan:
Gharib matan dan sekaligus sanad. Yaitu hadits yang matannya hanya diriwayatkan oleh seorang rawi.
Sanadnya gharib, tapi matannya tidak. Misalnya seperti hadits yang matannya diriwayatkan oleh sekelompok shahabat, dan seseorang menyendiri periwayatannya dari shahabat yang lain. Ini yang dikatakan at-Tirmidzi, ‘gharib dari sisi ini’.
B. Klasifikasi Hadist Berdasarkan Kualitasnya
Berdasarkan kualitasnya hadis dapat dibagi menjadi tiga yaitu Sahih, Hasan dan Da’if.
1. Hadis Sahih
Kata Sahih berasal dari kata الصحيح selamat dari penyakit, dan bebas dari aib. Menurut Ibn salah bahwa yang dimaksud dengan hadis Sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dabit dari awal hingga akhir sanadnya serta tidak ada syadz dan tidak ada ‘illat.8 Sedangkan menurut Imam al-Nawawi sebagai berikut :
هو ما اتصل سنده بالعدول اضا بطين من غير شذود ولا معللا.9
Artinya : hadis Sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, adil, dabit tidak ada syaz dan tidak ada ‘illat.
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapt diperoleh syarat hadis sahih adalah : Pertama, seluruh sanadnya bersambung (musnad), masing-masing periwayat yang terlibat dalam kegiatan transmisi hadis harus mendengar langsung dari periwayat sebelumnya atau gurunya. Kedua, Periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadis harus’adil. Istilah adil disini merpakan istilah khusus dalam ilmu hadis. Periwayat yang dikatakan ‘adil Karena kriteria persyaratan :
1. Beragama Islam
2. Mukallaf
3. Melaksankan ketentuan agama,
4. Memelihara Muru’ah.10
Untuk menentukan suatu periwayat apakah dapat dikatakan ‘adil atau tidak adalah dengan cara :
1. Popularitas keutamaan periwayat dikalangan ulama hadis
2. Penilaian kritikus hadis, baik berupa kelebihan maupun kekurangan periwayat hadis.
3. Penerpan kaedah jarh wa ta’dil.
Ketiga, diriwayatlan atas periwayat yang dabit. Istilah dabit menurut ulama bermacam-macam. Menurut Al-Asqalani, dan Al-Sakhawi dabit adalah periwayat yang kuat hafalannya atas apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan apa yang dihafalnya dengan baik kapan saja dan dimana saja ketika hendak menyampaikan hadis. Dari arti diatas dapat dikatakan butir-butir yang harus ada pada periwayat yang dabit adalah :
1. Periwayat tersebut memahami dengan baik terhadap riwayat yang ia dengarkannya.
2. Periwayat tersebut hafal dengan baik terhadap yang ia dengarkan.
3. Periwayat tersebut mampu menyampaikan kembali dengan baik apa yang difahami dan dihafal dari riwayat yang dia dengarkan diwaktu kapan saja dan dimana saja.11
Adapun cara yang digunakan dalam menentukan kedabitan seorang periwayat hadis adalah :
1. Berdasarkan kesaksian ulama.
2. Kesesuaian riwayatnya dengan periwayat lain yang telah diketahui kedabitannya.
3. Jika periwayat sesekali terjadi kesalahan atas apa yang diriwayatkannya maka hal tersebut tidak menjadi persoalan, namun jika berulang kali, maka yang bersangkutan tidak dapat dikategorikan dalam periwayat yang dabit.
Keempat, tidak terdapat Syaz, secara bahsa syaz berarti jarang, yang menyendiri, yang asing, yang menyalahi aturan dan menyalahi banyak orang.12 Menurut Imam al-Syafi’I hadis dinyatakan tidak mempunyai Syaz jika diriwayatkan oleh periwayat yang siqat sedangkan periwayat yang siqat lainnya tidak meriwayatkannya. Sedangkan menurut al-Hakim adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang siqat tapi tidak ada perawi yang siqat lainnya dalam meriwayatkan hadis.13 Kelima, Tidak terdapat ‘illat atau cacat atau kesalahan baca. Menurut istlah hadis, sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kualitas hadis.14 Bentuk-bentuk ‘illat dalam suatu hadis dapat berupa :
1. Sanad yang tampak muttasil dan marfu’ akan tetapi muttasil dan mauquf
2. Sanad yang tampak muttasil dan marfu’, akan tetapi muttasil dan mursal.
3. Terjadi percampuran hadis dengan hadis lain.
4. Terjadi kesalahan penyebutan periwayatkarena ada kemiripan nama periwayat sedangkan kualitasnya tidak siqat.15
2. Hadis Hasan
Secara Bahasa dari kata حَسُنَ-يَحْسُنُ yang berarti yang baik atau bagus. Dalam terminology hadis adalah . هو ما اتصل سنده بنقل عدل خفيف الضبط وسلم من الشذود والعلة .16 dengan demikian, hadis hasan sama dengan hadis sahih(semua syarat terpenuhi) namun hanya terdapat kekurangan adanya kelemahan daya hafalan (tidak terlalu kuat). Berdasarkan pengertian tersebut, maka hadis hasan kerusakannya tidak parah dalam artian bias menggugurkan hadis. Bias jadi kerusakan tersebut dijaga oleh periwayatnya dengan aktif memelihara hadis dengan cara mencatat. Oleh karen itu, ulama memberikan justifikasi boleh berhujjah dengan hadis hasan. Sumber hadis hasan sendiri dapat diperoleh dalam kitab-kitab hadis yang disebut sebagai sumber hadis sahih.17 Hadis hasan dapat ada macamnya yaitu :
1. Hasan lidzatih
Dinamakan Hasan lidzatih karena sifat hasannya muncul secara independen tanpa melihat dukungan hadis jalur lain. Contohnya:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه الترمذى)
Hadis ini bisa dinamakan hasan lidzatih dengan tanpa melihat jalur riwayat lainnya
2. Hasan lighayrih
Dinamakan hasan lighayrih karena kehasanannya disebabkan oleh faktor lain (dari luar), artinya hadis ini sebenarnya adalah tergolong da'if karena salah satu syarat untuk bisa dikategorikan hadis hasan atau shahih tidak terpenuhi, namun dikuatkan oleh adanya muttabi' atau syahid. Contoh hadis hasan lighayrih adalah:
حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ الْحَسَنِ الْكُوفِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِىُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى لَيْلَى عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « حَقٌّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَغْتَسِلُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلْيَمَسَّ أَحَدُهُمْ مِنْ طِيبِ أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَالْمَاءُ لَهُ طِيبٌ (رواه الترمذى)
Hadis ini menurut al-Tirmidzi masuk dalam kategori hasan lighayrih dikarenakan Yazid bin Abi Ziyad termasuk golongan al-mudallis. Tetapi matan hadis dikuatkan oleh syahid yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id dll.
3. Hadis Da’if
Hadis Da’if adalah hadis yang di dalamnya tidak terdapat ciri ke-sahihan dan kehasan-an. Didalamnya terdapat periwayat pendusta atatu tertuduh dusta, banyak membuat kekeliruan, suka pelupa, suka maksiat dan fasik, banyka angan-angan, menyalahi periwayat kepercayaan, periwayatnya tidak dikenal, penganut bid’ah dan tidak baik hafalanya.18 Pembagian hadis da’if menurut ulama membagi menjadi berbagai macam tergantung dimana letak kelemahannya. Kelemahan tersebut bias terjadi dalam lima hal, sebagaimana telah disebutkan diatas sebagai salah satu syarat hadis sahih.
Adapun pandangan ulama atas hadis da’if adalah :
1. Dipelopori oleh Sayid al-Nas, Abu Bakaribn ‘Arabi, Bukhari, Muslim dan Ibn Hazm, tidak memakai hadis da’if secara mutlak, baik untuk fail a’mal maupun dalam bidang hokum.
2. Dipelopori Ahmad ibn Hanbal, Abu Dawud, Abdurrahman al-Mahdi dan Abdullah ibn Mubarrak, yang menyatakan bahwa mengamalkan hadis daif secara mutlak dengan alasan hadis da’if masih lebih baik disbanding dengan pendapat manusia.
3. Ibn Hajar al-‘Asqalani, menggunakan hadis yang lemah dalam hal fadail a’mal dengan syarat tertentu sanadnya tidak terlalulemah, hadis tersebut menerangkan keutamaan amalan yang telah ditetapkan dalam hadis sahih, seperti tentang keutamaan shalat duha, tidak disandarkan secara pasti melalui nabi Muhammad Saw.19
Dari pembahasan sebelumnya dapat dikatakan bahwa untuk beramal berdasarkan hadis maka dianjurkan dengan hadis yang sudah bernilai sahih atau paling tidak hasan. Namun jika terpaksa melaksanakan hadis da’if, maka perlu mendapatkan sandaran lain yang lebih kuat baik dari Al-qur’an atau hasis lainnya. Hadis yang da’if terdapat kelemahannya dan kelemahan tersebut dapat terjadi dari bebrbagai sisi yang menyebabkan hadis ditolak, maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Daftar Pustaka
1. Ismail M.Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadist. Bandung : Angkasa.1991
2. Subkhi Al-Salih, “Ulum al-Hadist Wa Mustahakuh)’ 146.
3. As-Shalih. 2007. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Pustaka Firdaus: Jakarta
4. Mudassir.Ilmu Hadist : 2008 M/1429 H. Pustaka Setia.Surabaya.